Sejarah Kabupaten SerangSejarah
Kabupaten Serang tidak dipisahkan dari sejarah Banten pada umumnya,
karena Kabupaten Serang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten
yang berdiri pada abad ke-16 dengan pusat pemerintahannya terletak di
Serang (sekarang menjadi bagian wilayah Kota Serang).
Sebelum abad ke-16, berita-berita
tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah, konon pada mulanya
Banten masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurut
salah satu versi sejarah, dahulu ketika tanah Sunda masih dalam
kekuasaan Kerajaan Pajajaran (zaman Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi :
1482-1521 M), di Banten sudah terdapat 2 (dua) buah kerajaan, yaitu
Kerajaan Banten Girang dan Kerajaan Banten Pasisir. Banten Girang
dipimpin oleh Adipati Suranggana, dan Banten Pasisir dipimpin oleh
Adipati Surosowan. Keduanya itu konon adalah putra Prabu Siliwangi buah
perkawinannya dengan Dewi Mayang Sunda.
Adipati Surosowan mempunyai seorang
puteri bernama Kawung Anten yang kemudian diperistri oleh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Cirebon. Dari pasangan ini
terlahir seorang anak laki-laki bernama Sabakingking.
Sebagai putra Sunan Gunung Jati,
Sabakingking mewarisi kepandaian ilmu agama Islam dan ahli dalam
memerintah sebuah kerajaan. Maka setelah berhasil menaklukkan Banten
Girang pada tahun 1525, dan mempersatukannya dengan Banten Pasisir,
Sabakingking mendirikan kesultanan Islam di Banten yang pertama. Atas
prakarsa SyarifHidayatullah, pusat pemerintahan yang semula bertempat di
Banten Girang dipindahkan ke Banten Pasisir. Penobatan Sabakingking
dengan gelar “Maulana Hasanuddin” sebagai pemimpin dan yang meng-
Islam-kan Banten, dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
Pada masa Sultan Hasanuddin telah
dibangun sebuah keraton sebagai istana kesultanan yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kota yaitu Keraton
Surosowan. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1552-1570, dan konon
dikemudian hari melibatkan seorang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu
Hendrik Lucasz Cardeel (1680–1681), yang memeluk Islam yang bergelar
Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area
keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosowan mirip sebuah benteng
Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan)
di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada
lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi
kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton
Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing- masing terletak di
sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup
dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton
terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi
oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam
keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah
satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara
Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran
mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi
empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam
4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau
Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Strategi
Sultan Hasanuddin (dan sultan Banten lainnya di kemudian hari) dalam
mengembangkan ajaran Islam adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan
adat budaya masyarakat Banten pada masa itu, yaitu adu kekuatan dan
penampilan ketangkasan yang dikemas dalam wujud permainan debus. Dengan
demikian sedikit demi sedikit masyarakat Banten menyadari dan tertarik
untuk mengikuti syariat Islam.
Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada
tahun 1570, tampuk pemerintahan diteruskan oleh puteranya yaitu Maulana
Yusuf sebagai Sultan Banten yang kedua (1570-1580), dan selanjutnya
digantikan oleh Raja/Sultan ketiga, keempat, dan seterusnya sampai yang
terakhir Sultan ke-21 yaitu Sultan Muhammad Rafiudin yang memerintah
pada tahun 1809-1816.
Pada zaman kesultanan ini banyak
terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama pada akhir abad ke-16 (Juni
1596) di mana orang- orang Belanda dating untuk pertama kalinya
mendarat di Pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornellis de Houtman
dengan maksud untuk berdagang. Namun sikap yang kasar dari bangsa
Belanda tidak menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga
sering terjadi perselisihan di antara orang-orang Banten dengan
orang-orang Belanda. Sultan Banten yang bertahta pada saat itu adalah
Sultan ke-4 yaitu Abdul Mufakir Muhammad Abdulkodir yang ketika itu
masih bayi, sedangkan yang bertindak sebagai walinya adalah Mangkubumi
Jaya Nagara yang wafat tahun 1602 dan kemudian diganti oleh saudaranya,
Yudha Nagara.
Pada
tahun 1606, Abdul Mufakir diberangkatkan ke Mekkah, Parsi, Mesir dan
Istambul dan kembali ke Banten tahun 1607. Sementara Abdul Mufakir
dianggap belum cukup dewasa untuk memerintah, maka pada tahun 1608
Kesultanan mengangkat seorang mangkubumi untuk memerintah Banten yaitu
Pangeran Arya Ramananggala (1608-1624). Sultan Abdul Mufakir mulai
berkuasa penuh dari tahun 1624-1643 dengan Ramananggala sebagai patih
dan penasehat utamanya.
Sultan Abdul Mufakir Abdulkodir
mempunyai putera yang bernama Abdul Ma’ali Ahmad Rahmatullah yang
menjadi Sultan Banten ke-5 memerintah pada tahun 1643-1651. Sultan
Banten ke-5 mempunyai putera yang di kemudian hari menjadi Sultan Banten
ke-6 yaitu Abdul Fatah yang dikenal dengan julukan Sultan Ageng
Tirtayasa. Dan memegang kekuasaan dari tahun 1651-1680. Pada zaman
pemerintahannya, bidang politik, perekonomian, perdagangan, pelayaran,
kebudayaan dan keagamaan berkembang pesat. Untuk memajukan pertanian
rakyat Banten, pembangunan yang paling terkenal pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa adalah pembangunan irigasi. Demikian juga kegigihannya
menentang penjajahan Belanda.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa
sering terjadi perlawanan atau peperangan dengan kompeni Belanda yang
pada waktu itu berkuasa di Batavia. Dengan cara politik adu domba dengan
puteranya yaitu Sultan Haji Abdul Kohar yang memihak kepada Belanda,
akhirnya dengan memperalat puteranya itu, kompeni Belanda dapat
melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sepeninggalnya
Sultan Ageng Tirtayasa yang wafat pada tahun 1692 di tahanan kompeni
Belanda di Batavia, kebesaran Banten mulai redup dan berakhirlah masa
keemasannya karena sultan-sultan Banten selanjutnya sudah semakin
dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kedudukan pemerintahan
Kesultanan Banten semakin goyah dan lemah. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Ishak Zainul Muttaqien (1805-1808) dan Sultan Muhammad
Aliyuddin II (1808- 1810) terjadi pengorbanan jiwa dan kerja paksa
rakyat Banten oleh Gubernur Jenderal Daendels saat mendirikan pangkalan
angkatan laut di Ujung Kulon. Dan kemudian ketika Belanda bermaksud
memperlancar mobilisasi persenjataan serta rempah-rempah telah dibangun
jalan dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi yang pada saat itu dapat
menyingkat perjalanan 40 hari menjadi 6 hari. Pembangunan jalan
sepanjang 1000 KM ini telah mengorbankan dan menindas habis- habisan
rakyat Banten sebagai tenaga kerja paksa.
Tahun 1816 kompeni Belanda di bawah
pimpinan Gubernur van der Capellen datang ke Banten dan mengambil alih
kekuasaan Banten dari Sultan Muhammad Rafiudin. Selanjutnya, Belanda
membagi wilayah Banten menjadi tiga bagian (Kabupaten) yaitu Banten Lor
(Serang), Banten Kidul (Lebak) dan Banten Kulon (Caringin) dengan kepala
negerinya disebut regent (bupati). Sebagai regent pertama untuk Serang
diangkat putera kesultanan yaitu Pangeran Arya Adisantika (1816- 1827)
dengan pusat pemerintahan bertempat di Keraton Kaibon, Kasemen.
Sedangkan untuk Lebak diangkat sebagai regent Pangeran Jamil Senjaya
(1816-1830). Dan untuk Caringin diangkat regent Mandura Raja Jayanegara
(1827-1840).
Pusat pemerintahan Serang di Keraton
Kaibon mengalami beberapa kali penghancuran akibat peperangan.
Penghancuran keraton oleh kompeni Belanda juga dilakukan terhadap pusat
pemerintahan Keraton Surosowan dan proses penghancuran berlangsung
sampai dengan tahun 1832. Sisa reruntuhan keraton yang masih bisa
dipakai, konon kemudian dibawa ke Serang untuk membangun gedung-gedung
Belanda dan diantaranya yang kini menjadi Pendopo Gubernur Banten dan
Pendopo Kabupaten Serang.
Tanggal
3 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Serang melalui Pulau
Tarahan di pantai Bojonegara. Jepang mengambil alih keresidenan yang
waktu itu dikuasai oleh Belanda, sedangkan bupatinya tetap orang pribumi
dijabat oleh RAA Djajadiningrat. Kekuasaan Jepang berlangsung selama
kurang lebih 3,5 tahun.
;Pada tahun 1945 setelah Jepang
menyerah kepada sekutu, di Serang terjadi perebutan senjata antara
Kempetai (Jepang) dengan rakyat dan orang Indonesia yang menjadi tentara
Jepang. Tentara Jepang kemudian berhasil diusir meninggalkan Serang.
Sementara di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan,
kekuasaan keresidenan beralih dari tangan Jepang kepada Republik
Indonesia, dan sebagai residen pada waktu itu adalah Tb. Ahmad Chotib
dan Bupati Serang adalah K.H. Syam’un. Selanjutnya untuk jabatan camat
banyak diangkat dari kalangan ulama.
Pada tahun 1946/1947 terjadi Agresi
Belanda I. Banten/Serang menjadi daerah blokade masuknya serbuan
Belanda, dan sempat terjadi putus hubungan dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta. Pada saat itu daerah Banten atas izin dari pemerintah pusat
mencetak uang sendiri yaitu Oeang Republik Indonesia Daerah Banten
(ORIDAB).
Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi
Agresi Belanda II tentara Belanda berhasil masuk ke daerah
Banten/Serang selama satu tahun, dan setelah Konferensi Meja Bundar
(KMB) tahun 1949, Belanda kembali meninggalkan Banten/Serang.
Selanjutnya Serang menjadi salah satu daerah otonom Tingkat II di
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang, di
Serang tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa makar dan tidak pernah
terpengaruh oleh gerakan ekstrim kiri (PKI) maupun ekstrim kanan
(DI/TII).
Berdasarkan sejarah tersebut, pemerintahan di Serang telah mengalami empat kali peralihan kekuasaan yaitu:
- Pemerintahan kesultanan Banten selama 290 tahun (1526-1816)
- Pemerintahan Hindia Belanda selama 126 tahun (1816-1942)
- Pemerintahan Jepang selama 3,5 tahun (1942-1945)
- Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945
Pengangkatan Maulana Hasanuddin
sebagai Sultan Banten pertama pada tanggal 1 Muharram 933 H yang
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M, oleh Pemerintah Kabupaten
Serang diresmikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Serang berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1985 yang ditetapkan pada tanggal 6
Agustus 1985 dan diundangkan dalam lembaran daerah sejak tangal 20
Agustus 1985.