Sabtu, 12 Januari 2013

Taman Wisata Alam Pulau Sangiang



A. Selayang Pandang
Mengunjungi Taman Wisata Alam Pulau Sangiang ibarat pepatah "sekali mendayung perahu, dua tiga pulau terlampaui". Kawasan yang dikenal dengan julukan Seven Wonders of Banten (Tujuh Keajaiban Banten) ini memadukan wisata alam, wisata sejarah, dan wisata ilmiah. Sehingga, selain sebagai tempat wisata yang menarik, kawasan ini juga menjadi lahan subur untuk penelitian dan pengembangan kekayaan hayati bagi ilmuan, mahasiswa, pelajar, dan bahkan masyarakat umum.
Sebelumnya, Pulau Sangiang merupakan Kawasan Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 112/Kpts-II/1985 pada tanggal 23 Mei 1985 dengan luas areal sekitar 700,35 hektar. Namun, mengingat letak geografisnya yang strategis dan kekayaan hayatinya yang melimpah, pemerintah pusat kemudian menetapkannya sebagai Taman Wisata Alam Pulau Sangiang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 698/Kpts-II/93 pada tanggal 12 Oktober 1993. Kawasan yang memiliki luas sekitar 1.420,35 hektar ini, terdiri dari dataran seluas 700,35 hektar dan taman laut seluas 720 hektar. 

B. Keistimewaan
Udaranya yang sejuk dan segar, pepohonannya yang hijau dan rindang, serta ditingkahi oleh kicauan beraneka burung, menjadikan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang tepat sekali dipilih sebagai tempat rekreasi yang mengasyikkan bersama keluarga atau kolega.    
Di kawasan ini, terdapat berbagai flora langka, seperti cemara laut (casuarina equisetifolia), dadap laut (erithrina variegata), bayur (pterospermum javanicum), ketapang (terminalia catappa), nyamplung (callopphyllum inoplhylum), api-api (avicenia sp), waru laut (hibiscus tiliaceus), walikukun (actinophora fragrans), dan lain sebagainya.
Berbagai fauna langkanya, seperti lutung (trchyptus auratus), kera (macaca fascicularis), kucing hutan (felis bengelensis), landak (hystrix bachura), burung walet (collocalia vulvanorum), burung bluwok (ibis cinereus), kuntul berang (egretta sacra), kuntul kerbau (ardeola speciosa), kuntul besi (threskiornis aethopica), alap-alap (elanus hypoleucus), dan ular sanca (phyton reticularis), juga mudah dijumpai di kawasan ini. 
Pada sisi barat laut dan selatan Pulau Sangiang, serta di sepanjang Pantai Batu Mandi dan Gunung Gede, merupakan kawasan wisata alam yang menantang dan sekaligus mengasyikkan. Kawasannya yang luas dan didukung oleh kontur medan yang beragam, memberi cukup ruang kepada pengunjung untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti olahraga lintas alam, mendaki gunung, menyusuri lembah, bersepeda, berkemah, memotret, serta menikmati panorama pantai yang landai dan curam.
Bagi peminat scuba diving, snorkling, berjemur, memancing, berperahu, serta melihat keindahan terumbu karang dan taman laut dengan glass bottom boat, dianjurkan mengunjungi kawasan Tanjung Raden, Legon Waru, dan perairan laut selatan yang terdapat di dalam Pulau Sangiang. Dari kawasan ini, juga terlihat lalu-lalang kapal feri Merak-Bakauhuni dan kesibukan kapal dagang di tepi pantai Cilegon.   
Untuk menikmati wisata sejarah, pengunjung dapat mendatangi kawasan di sekitar Pos TNI Angkatan Laut. Di sana, pengunjung masih dapat menyaksikan sisa-sisa peninggalan perang dunia kedua, seperti meriam dan benteng pertahanan tentara Jepang dari serbuan tentara Sekutu.
Sementara itu, berbagai kekayaan ekosistemnya, seperti terumbu karang, hutan bakau (mangrove), dan hutan pantai, merupakan lahan subur bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan alam, serta tempat wisata ilmiah yang menarik.  
  
C. Lokasi
Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia. 

D. Akses
Dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, pengunjung dapat naik bus atau kendaraan pribadi menuju arah Cilegon. Kemudian, perjalanan dilanjutkan menuju Anyer, dan berhenti di kawasan Pantai Manuk di Desa Cikoneng. Dari Pantai Manuk, perjalanan dilanjutkan dengan naik kapal atau perahu motor ke Pulau Sangiang dengan waktu tempuh sekitar satu jam.  

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di kawasan Taman Wisata Alam Pulau Sangiang juga terdapat berbagai fasilitas lainnya, seperti pusat informasi pariwisata, pemandu wisata, pos jaga, polisi hutan, camping ground yang luas dan aman, pesanggrahan, persewaan peralatan untuk menyelam, dermaga, serta persewaan perahu dan speed boat untuk mengelilingi Pulau Sangiang.

Jumat, 11 Januari 2013

Profile Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Serang

Profile Bupati Serang



Nama : Drs. H. A. Taufik Nuriman, MM, MBA.
Tempat, Tgl. Lahir   : Serang, 2 Oktober 1953
Alamat : Jl. Jagarayu No.45 Ciracas - Serang
   
Anggota Keluarga  
Istri : Hj. E. Ratna Dewi Mulyaningsih Nuriman, S.Ip.
Anak Pertama : Esa Kurniati
Anak Kedua : Eki Baihaki
   
Orang Tua  
Ayah : KH. M. Nuriman (Alm.)
Ibu : Hj. Sohrabah
   

Pendidikan:
-SD Ciruas, Tahun 1960 - 1966
-PGP Serang, Tahun 1966 - 1970
-PGAAN Serang, Tahun 1970 - 1972
-Fakultas Syariah IAIN Serang, Tahun 1972 - 1976
-Fakultas Hukum UNINUS Bandung, Tahun 1976 - 1979
-Fakultas Ekonomi UNPATI Jakarta, Tahun 2001
-S2 UNPATI Jakarta, Tahun 2003

Pendidikan Militer
-Sekalipha, Bandung Tahun 1972
-Sepawamil, Jateng Tahun 1980
-Sus Dasar Para, Bandung Tahun 1980
-Sus Komando, Bandung Tahun 1981
-Suspa Bintal, Jakarta Tahun 1982
-Sus Gati Bintal, Bogor Tahun 1982
-TAR P-4, Jakarta Tahun 1983
-Suslapa II Inf, Bandung Tahun 1989
-Penyegaran Rohis, Jakarta Tahun 1991
-Air Bone, Bandung Tahun 1994
-Pandu Udara, Bandung Tahun 1995
-Tar P-4 Tk. Eselon, Bandung Tahun 1998



 Profile Wakil Bupati Serang






Nama : Hj. Ratu Tatu Chasanah, SE.
Tempat, Tgl. Lahir   : Serang, 23 Juli 1967
Alamat : Jl. Bhayangkara No.51, Serang
   
Anggota Keluarga  
Suami : Ir. John Chaidir
Anak Pertama : Pilar Saga Ichsan
Anak Kedua : Kamila Ratu Chaidir
Anak Ketiga  : Adam Sulaiman Al-Hasani
   
Orang Tua  
Ayah : Prof. Dr. H. Tb. Chasan Sochib (Alm.)
Ibu : Hj. Wasiah
   

Pendidikan:
-SDN Ciateul III Bandung Tahun 1975 - 1981
-SMPN 5 Bandung Tahun 1981 - 1984
-SMA Yayasan 17 Bandung Tahun 1984 - 1987
-S1 Fakultas Ekonomi Universitas Parahiyangan (UNPAR) Bandung Tahun 1995






















   

Kamis, 10 Januari 2013

Profil Kabupaten Serang








Secara Geografis wilayah Serang terletak pada koordinat 50 50’ - 60 21’ Lintang Selatan dan 1050 0’ - 1060 22’ Bujur Timur. Jarak terpanjang menurut garis lurus dari utara ke selatan adalah sekitar 60 km dan jarak terpanjang dari barat ke timur sekitar 90 km, dengan luas wilayah 1.467,35 km2, dan berbatasan langsung dengan wilayah lain yaitu:
  • Sebelah Utara dengan Laut Jawa
  • Sebelah Timur dengan Kabupaten Tangerang
  • Sebelah Barat dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
Pembentukan Kota Serang dengan Undang Undang nomor 32 tahun 2007 telah melepas 6 wilayah kecamatan dari wilayah Kabupaten Serang. Secara letak geografis Kota Serang berada di tengah Kabupaten Serang, sehingga pusat pemerintahan Kabupaten secara bertahap akan pindah dari wilayah Kota Serang. Hal ini tentunya memerlukan pengkajian yang sangat mendalam dari segala aspek untuk meminimalisir akibat yang tidak selaras dengan tujuan pemekaran wilayah.
Secara fisik, Kabupaten Serang merupakan daerah yang sangat potensial dan amat diuntungkan. Posisi geografis dalam aksesibilitas keluar wilayah Kabupaten Serang cukup strategis, karena dilalui oleh Jalan Tol Jakarta – Merak yang merupakan akses utama menuju Sumatera melalui Pelabuhan penyeberangan Merak, dan sebagai daerah penyangga (hinterland) Ibukota Negara, mengingat jaraknya jika diukur melalui jalan Tol Jakarta – Merak hanya 70 Km.

Secara administratif, Kabupaten Serang terdiri atas 308 Desa yang berada di 28 Kecamatan sebagai berikut:
  • Anyar
  • Bandung
  • Baros
  • Binuang
  • Bojonegara
  • Carenang
  • Cikande
  • Cikeusal
  • Cinangka
  • Ciomas
  • Ciruas
  • Gunungsari
  • Jawilan
  • Kibin
  • Kragilan
  • Kramatwatu
  • Kopo
  • Mancak
  • Pabuaran
  • Padarincang
  • Pamarayan
  • Petir
  • Pontang
  • Pulo Ampel
  • Tanara
  • Tirtayasa
  • Tunjung Teja
  • Waringin Kurung

Sejarah Kabupaten Serang

Sejarah Kabupaten SerangSejarah Kabupaten Serang tidak dipisahkan dari sejarah Banten pada umumnya, karena Kabupaten Serang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten yang berdiri pada abad ke-16 dengan pusat pemerintahannya terletak di Serang (sekarang menjadi bagian wilayah Kota Serang).
Sebelum abad ke-16, berita-berita tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah, konon pada mulanya Banten masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurut salah satu versi sejarah, dahulu ketika tanah Sunda masih dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran (zaman Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi : 1482-1521 M), di Banten sudah terdapat 2 (dua) buah kerajaan, yaitu Kerajaan Banten Girang dan Kerajaan Banten Pasisir. Banten Girang dipimpin oleh Adipati Suranggana, dan Banten Pasisir dipimpin oleh Adipati Surosowan. Keduanya itu konon adalah putra Prabu Siliwangi buah perkawinannya dengan Dewi Mayang Sunda.
Adipati Surosowan mempunyai seorang puteri bernama Kawung Anten yang kemudian diperistri oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Cirebon. Dari pasangan ini terlahir seorang anak laki-laki bernama Sabakingking.
Sebagai putra Sunan Gunung Jati, Sabakingking mewarisi kepandaian ilmu agama Islam dan ahli dalam memerintah sebuah kerajaan. Maka setelah berhasil menaklukkan Banten Girang pada tahun 1525, dan mempersatukannya dengan Banten Pasisir, Sabakingking mendirikan kesultanan Islam di Banten yang pertama. Atas prakarsa SyarifHidayatullah, pusat pemerintahan yang semula bertempat di Banten Girang dipindahkan ke Banten Pasisir. Penobatan Sabakingking dengan gelar “Maulana Hasanuddin” sebagai pemimpin dan yang meng- Islam-kan Banten, dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
Pada masa Sultan Hasanuddin telah dibangun sebuah keraton sebagai istana kesultanan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kota yaitu Keraton Surosowan. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1552-1570, dan konon dikemudian hari melibatkan seorang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel (1680–1681), yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.

Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing- masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.

Strategi Sultan Hasanuddin (dan sultan Banten lainnya di kemudian hari) dalam mengembangkan ajaran Islam adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan adat budaya masyarakat Banten pada masa itu, yaitu adu kekuatan dan penampilan ketangkasan yang dikemas dalam wujud permainan debus. Dengan demikian sedikit demi sedikit masyarakat Banten menyadari dan tertarik untuk mengikuti syariat Islam.
Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570, tampuk pemerintahan diteruskan oleh puteranya yaitu Maulana Yusuf sebagai Sultan Banten yang kedua (1570-1580), dan selanjutnya digantikan oleh Raja/Sultan ketiga, keempat, dan seterusnya sampai yang terakhir Sultan ke-21 yaitu Sultan Muhammad Rafiudin yang memerintah pada tahun 1809-1816.

Pada zaman kesultanan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama pada akhir abad ke-16 (Juni 1596) di mana orang- orang Belanda dating untuk pertama kalinya mendarat di Pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornellis de Houtman dengan maksud untuk berdagang. Namun sikap yang kasar dari bangsa Belanda tidak menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga sering terjadi perselisihan di antara orang-orang Banten dengan orang-orang Belanda. Sultan Banten yang bertahta pada saat itu adalah Sultan ke-4 yaitu Abdul Mufakir Muhammad Abdulkodir yang ketika itu masih bayi, sedangkan yang bertindak sebagai walinya adalah Mangkubumi Jaya Nagara yang wafat tahun 1602 dan kemudian diganti oleh saudaranya, Yudha Nagara.
Pada tahun 1606, Abdul Mufakir diberangkatkan ke Mekkah, Parsi, Mesir dan Istambul dan kembali ke Banten tahun 1607. Sementara Abdul Mufakir dianggap belum cukup dewasa untuk memerintah, maka pada tahun 1608 Kesultanan mengangkat seorang mangkubumi untuk memerintah Banten yaitu Pangeran Arya Ramananggala (1608-1624). Sultan Abdul Mufakir mulai berkuasa penuh dari tahun 1624-1643 dengan Ramananggala sebagai patih dan penasehat utamanya.
Sultan Abdul Mufakir Abdulkodir mempunyai putera yang bernama Abdul Ma’ali Ahmad Rahmatullah yang menjadi Sultan Banten ke-5 memerintah pada tahun 1643-1651. Sultan Banten ke-5 mempunyai putera yang di kemudian hari menjadi Sultan Banten ke-6 yaitu Abdul Fatah yang dikenal dengan julukan Sultan Ageng Tirtayasa. Dan memegang kekuasaan dari tahun 1651-1680. Pada zaman pemerintahannya, bidang politik, perekonomian, perdagangan, pelayaran, kebudayaan dan keagamaan berkembang pesat. Untuk memajukan pertanian rakyat Banten, pembangunan yang paling terkenal pada masa Sultan Ageng Tirtayasa adalah pembangunan irigasi. Demikian juga kegigihannya menentang penjajahan Belanda.

Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa sering terjadi perlawanan atau peperangan dengan kompeni Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Batavia. Dengan cara politik adu domba dengan puteranya yaitu Sultan Haji Abdul Kohar yang memihak kepada Belanda, akhirnya dengan memperalat puteranya itu, kompeni Belanda dapat melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sepeninggalnya Sultan Ageng Tirtayasa yang wafat pada tahun 1692 di tahanan kompeni Belanda di Batavia, kebesaran Banten mulai redup dan berakhirlah masa keemasannya karena sultan-sultan Banten selanjutnya sudah semakin dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kedudukan pemerintahan Kesultanan Banten semakin goyah dan lemah. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ishak Zainul Muttaqien (1805-1808) dan Sultan Muhammad Aliyuddin II (1808- 1810) terjadi pengorbanan jiwa dan kerja paksa rakyat Banten oleh Gubernur Jenderal Daendels saat mendirikan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Dan kemudian ketika Belanda bermaksud memperlancar mobilisasi persenjataan serta rempah-rempah telah dibangun jalan dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi yang pada saat itu dapat menyingkat perjalanan 40 hari menjadi 6 hari. Pembangunan jalan sepanjang 1000 KM ini telah mengorbankan dan menindas habis- habisan rakyat Banten sebagai tenaga kerja paksa.
Tahun 1816 kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur van der Capellen datang ke Banten dan mengambil alih kekuasaan Banten dari Sultan Muhammad Rafiudin. Selanjutnya, Belanda membagi wilayah Banten menjadi tiga bagian (Kabupaten) yaitu Banten Lor (Serang), Banten Kidul (Lebak) dan Banten Kulon (Caringin) dengan kepala negerinya disebut regent (bupati). Sebagai regent pertama untuk Serang diangkat putera kesultanan yaitu Pangeran Arya Adisantika (1816- 1827) dengan pusat pemerintahan bertempat di Keraton Kaibon, Kasemen. Sedangkan untuk Lebak diangkat sebagai regent Pangeran Jamil Senjaya (1816-1830). Dan untuk Caringin diangkat regent Mandura Raja Jayanegara (1827-1840).

Pusat pemerintahan Serang di Keraton Kaibon mengalami beberapa kali penghancuran akibat peperangan. Penghancuran keraton oleh kompeni Belanda juga dilakukan terhadap pusat pemerintahan Keraton Surosowan dan proses penghancuran berlangsung sampai dengan tahun 1832. Sisa reruntuhan keraton yang masih bisa dipakai, konon kemudian dibawa ke Serang untuk membangun gedung-gedung Belanda dan diantaranya yang kini menjadi Pendopo Gubernur Banten dan Pendopo Kabupaten Serang.

Tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Serang melalui Pulau Tarahan di pantai Bojonegara. Jepang mengambil alih keresidenan yang waktu itu dikuasai oleh Belanda, sedangkan bupatinya tetap orang pribumi dijabat oleh RAA Djajadiningrat. Kekuasaan Jepang berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.
;Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada sekutu, di Serang terjadi perebutan senjata antara Kempetai (Jepang) dengan rakyat dan orang Indonesia yang menjadi tentara Jepang. Tentara Jepang kemudian berhasil diusir meninggalkan Serang. Sementara di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kekuasaan keresidenan beralih dari tangan Jepang kepada Republik Indonesia, dan sebagai residen pada waktu itu adalah Tb. Ahmad Chotib dan Bupati Serang adalah K.H. Syam’un. Selanjutnya untuk jabatan camat banyak diangkat dari kalangan ulama.
Pada tahun 1946/1947 terjadi Agresi Belanda I. Banten/Serang menjadi daerah blokade masuknya serbuan Belanda, dan sempat terjadi putus hubungan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Pada saat itu daerah Banten atas izin dari pemerintah pusat mencetak uang sendiri yaitu Oeang Republik Indonesia Daerah Banten (ORIDAB).
Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi Agresi Belanda II tentara Belanda berhasil masuk ke daerah Banten/Serang selama satu tahun, dan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda kembali meninggalkan Banten/Serang. Selanjutnya Serang menjadi salah satu daerah otonom Tingkat II di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang, di Serang tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa makar dan tidak pernah terpengaruh oleh gerakan ekstrim kiri (PKI) maupun ekstrim kanan (DI/TII).
Berdasarkan sejarah tersebut, pemerintahan di Serang telah mengalami empat kali peralihan kekuasaan yaitu:
  1. Pemerintahan kesultanan Banten selama 290 tahun (1526-1816)
  2. Pemerintahan Hindia Belanda selama 126 tahun (1816-1942)
  3. Pemerintahan Jepang selama 3,5 tahun (1942-1945)
  4. Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945
Pengangkatan Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M, oleh Pemerintah Kabupaten Serang diresmikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Serang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1985 yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 1985 dan diundangkan dalam lembaran daerah sejak tangal 20 Agustus 1985.